Kamis, 02 Januari 2014

[Review] Roma, Robin Wijaya



Penulis : Robin Wijaya
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013



Pembaca tersayang,

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cerita berujung cinta. Robin Wijaya, penulis novel Before Us dan Menunggu mempersembahkan cerita cinta dari Kota Tujuh Bukit.


Leonardo Halim, pelukis muda berbakat Indonesia, menyaksikan perempuan itu hadir. Sosok yang datang bersama cahaya dari balik sela-sela kaca gereja Saint Agnes. Hangatnya menorehkan warna, seperti senja yang merekah merah di langit Kota Roma. Namun, bagaimana jika ia juga membawa luka?

Leo hanya ingin menjadi cahaya, mengantar perempuan itu menembus gelap masa lalu. Mungkinkah ia percaya? Sementara sore itu, di luar ruang yang dipenuhi easel, palet, dan kanvas, seseorang hadir untuk rindu yang telah menunggu.

Setiap tempat punya cerita. Roma seperti sebuah lukisan yang bicara tanpa kata-kata.

Enjoy the journey,

EDITOR

*

ROMA adalah buku keempat dari seri STPC yang saya baca. Seperti BANGKOK, novel ini langsung mengingatkan saya kepada hal-hal di masa lalu; cita-cita masa kecil sebagai arsitek (sekarang jadi mahasiswi Sastra Inggris, hihi),  sejarahnya yang panjang dengan Athena, film When in Rome, dan adik nenek saya yang berprofesi sebagai pelukis.

Omong-omong, ini kali pertama saya membaca karya Robin Wijaya. Dari sekian penulis laki-laki yang bukunya saya lahap, karya Robin (mungkin) yang paling romantis. Di ROMA, ada banyak kalimat yang membuat saya meleleh–terutama pembuka di tiap bab. Selama dua hari, saya menikmati perjalanan Leo–seorang pelukis asal Indonesia–dan Felice–gadis yang bekerja di KBRI.

Saya menyukai alurnya, cukup mengalir dan tidak bikin stress di tengah jalan. Ada banyak sekali tokoh di ROMA, tapi saya berusaha fokus dengan mengambil empat orang: Leo, Felice, Marla, dan Franco. Sayang, karena menumpuknya tokoh-tokoh pembantu, saya agak kesulitan untuk tenggelam dalam jiwa empat tokoh tadi. Selain itu, porsi di Bali hampir menghapus kesan Roma kalau Felice tidak cepat-cepat terbang meninggalkan Indonesia.

Well, tapi saya terkesan dengan riset yang dilakukan Robin yang berhasil menghidupkan sosok Leo menjadi seorang pelukis. ROMA juga ‘laki banget’ karena sentuhan liga-liga sepak bola yang, ya tidak saya pahami juga, sih, tapi menarik. Jangan lupa dengan nama makanan dan minuman khas Italia yang membuat saya pengin nyeduh kopi sambil makan roti saat membaca novel ini.

Rate: 3.5/5. Setelah ROMA, tampaknya saya harus menambahkan Before Us dan Versus ke rak buku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar