Penulis :
Robin Wijaya
Penerbit :
GagasMedia
Tahun
Terbit : 2013
Pembaca
tersayang,
Banyak jalan
menuju Roma. Banyak cerita berujung cinta. Robin Wijaya, penulis novel Before
Us dan Menunggu mempersembahkan cerita cinta dari Kota Tujuh Bukit.
Leonardo
Halim, pelukis muda berbakat Indonesia, menyaksikan perempuan itu hadir. Sosok
yang datang bersama cahaya dari balik sela-sela kaca gereja Saint Agnes.
Hangatnya menorehkan warna, seperti senja yang merekah merah di langit Kota
Roma. Namun, bagaimana jika ia juga membawa luka?
Leo hanya
ingin menjadi cahaya, mengantar perempuan itu menembus gelap masa lalu.
Mungkinkah ia percaya? Sementara sore itu, di luar ruang yang dipenuhi easel,
palet, dan kanvas, seseorang hadir untuk rindu yang telah menunggu.
Setiap
tempat punya cerita. Roma seperti sebuah lukisan yang bicara tanpa kata-kata.
Enjoy the
journey,
EDITOR
*
ROMA adalah buku keempat dari seri STPC yang saya
baca. Seperti BANGKOK, novel ini langsung mengingatkan saya kepada hal-hal di
masa lalu; cita-cita masa kecil sebagai arsitek (sekarang jadi mahasiswi Sastra
Inggris, hihi), sejarahnya yang panjang
dengan Athena, film When in Rome, dan adik nenek saya yang berprofesi sebagai
pelukis.
Omong-omong, ini kali pertama saya membaca karya
Robin Wijaya. Dari sekian penulis laki-laki yang bukunya saya lahap, karya
Robin (mungkin) yang paling romantis. Di ROMA, ada banyak kalimat yang membuat
saya meleleh–terutama pembuka di tiap bab. Selama dua hari, saya menikmati
perjalanan Leo–seorang pelukis asal Indonesia–dan Felice–gadis yang bekerja di
KBRI.
Saya menyukai alurnya, cukup mengalir dan tidak
bikin stress di tengah jalan. Ada banyak sekali tokoh di ROMA, tapi saya
berusaha fokus dengan mengambil empat orang: Leo, Felice, Marla, dan Franco.
Sayang, karena menumpuknya tokoh-tokoh pembantu, saya agak kesulitan untuk
tenggelam dalam jiwa empat tokoh tadi. Selain itu, porsi di Bali hampir
menghapus kesan Roma kalau Felice tidak cepat-cepat terbang meninggalkan
Indonesia.
Well, tapi saya terkesan dengan riset yang
dilakukan Robin yang berhasil menghidupkan sosok Leo menjadi seorang pelukis.
ROMA juga ‘laki banget’ karena sentuhan liga-liga sepak bola yang, ya tidak
saya pahami juga, sih, tapi menarik. Jangan lupa dengan nama makanan dan
minuman khas Italia yang membuat saya pengin nyeduh kopi sambil makan roti saat
membaca novel ini.
Rate: 3.5/5.
Setelah ROMA, tampaknya saya harus menambahkan Before Us dan Versus ke rak
buku.
erl.
@erlinberlin13
@erlinberlin13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar