Penulis : Mahir Pradana
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013
Hei, di sebelah dunia bagian mana kau sedang berada?
Sudah bertahun-tahun kau dan aku mencari arah.
Berkali-kali jatuh cinta pada selatan.
Terus menunggu isyarat timur.
Hingga utara pun sudah tak lagi kita percaya.
Sudah kujejaki banyak kisah, kutemui pula banyak luka.
Ternyata, pada kisah lalu milik kitalah harapan itu tetap ada.
Masih kuatkah kau dan aku berjalan?
Atau, kali ini, mungkin pulang akan menjadi jawaban.
*
Ini bukan kali pertama
saya membaca tulisan Mahir Pradana. Sebelumnya, saya pernah membaca karyannya
di omnibus “Menuju(h)” dan “Dongeng Patah Hati” (“Here, After” masih di waiting
list). Satu cerpennya di “Menuju(h)”–lupa judul dan hari apa–menempel sangat
kuat sampai sekarang. Dua hal yang saya ingat: Swiss dan bus.
Kemudian, saat menyentuh
“Rhapsody”, saya penasaran. Apakah akan ada adegan-adegan yang membuat saya
terikat kuat dengan tulisan Mahir?
Jawabannya: banyak.
“Rhapsody” adalah kisah
dari seorang pemuda bernama Al (alias Abdul Latif) yang tengah merintis usaha
hostel bernama Makasar Paradise. Sepanjang kisah jatuh-bangun Al, saya juga
dibawa ke dalam petualangan (cinta)nya dulu di Eropa. Meski begitu, kekentalan
budaya Indonesia–khususnya di wilayah Timur–membuat saya kembali terkesan. Where have I been before? Ternyata
selama ini, saya belum mengenal Indonesia sepenuhnya.
Tenggelam bersama
“Rhapsody” pun seperti menyusun playlist lagu-lagu Coldplay dan Snow Patrol
favorit saya. Jadi, begitu bertemu penggalan lirik di awal bab, saya pasti
‘menyanyi’ dulu sebentar. Entah kenapa, saya juga malah lebih kesengsem sama
Miguel dibanding Al.
Sayangnya, ada beberapa
kesalahan ketik (it is forgiven, anyway). Saya pun sempat berhenti sejenak
untuk menghitung ketepatan waktu, karena alurnya campur (maju-mundur).
Rate: 4/5. Petulangan
Indonesia-Eropa yang menyenangkan. Terutama bagian Kota Berlin yang melempar
saya ke masa-masa mengunyah ensiklopedia.
Selamat bertualang,
erl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar